by nur azizah
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengembangan pribadi remaja merupakan proses terjadinya perubahan pribadi untuk menghasilkan peningkatan kualitas kepribadian. Pada remaja kebutuhan akan pengembangan pribadi sangat penting, dalam rangka membantu menuju sebuah kepribadian yang berkualitas. Kenyataan menunjukan bahwa banyak remaja yang sulit untuk mengembangkan pribadinya. Bukti yang dapat diangkat, bahwa banyak remaja sebagai peserta didik yang tidak bersungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran. Salah satu penyebab dari hal tersebut adalah kurangnya motivasi dalam belajar dari peserta didik.
Pembicaraan yang sering kita dengar antarpengajar di sekolah tentang permasalahan yang dihadapi siswanya adalah bahwa siswa tidak mempunyai motivasi. Siswa cenderung melaksanakan tugas sekolah karena ada tekanan dari luar dirinya. Tidak adanya motivasi membuat siswa kurang mandiri dalam belajar. Mereka belajar hanya untuk ujian. Jika bukan untuk ujian, mereka belajar tanpa perhatian dan kesungguh-sungguhan. Dalam dunia pendidikan motivasi mempunyai peranan penting dalam proses belajar mengajar, sebab motivasi dapat mempengaruhi keinginan untuk belajar dan bagaimana siswa belajar. Jadi, motivasi merupakan salah satu faktor yang mempunyai peran penting dalam pencapaian keberhasilan di pendidikan (Diadaptasi dari diktat Mata Kuliah Bimbingan Pendidikan 2000, Fakultas psikologi Universitas Indonesia).
Tulisan di atas menggambarkan keresahan para pengajar dalam menghadapi peserta didiknya. Hal itu juga terjadi pada kebanyakan remaja yang masih berada di bangku sekolah, yaitu tidak adanya motivasi untuk belajar atau berprestasi. Sangat menyedihkan, padahal motivasi merupakan awal dari jalan menuju tercapainya keberhasilan, seperti ungkapan “Di mana ada kemauan, di situ ada jalan”. Itu adalah salah satu ungkapan yang sering kita dengar dari orangtua atau guru bila mengingatkan kita untuk lebih giat belajar. Ungkapan tersebut tentu saja benar. Apa yang dapat kita lakukan bila kita tidak mempunyai kemauan, semua yang kita lakukan dengan setengah hati tentu saja hasilnya pun tidak akan maksimal.
Berdasarkan pengamatan penulis, bahwa peserta didik sebaiknya dapat mengenal motivasi, karena motivasi itu penting dan sangat berpengaruh dalam proses belajar. Lebih jauh seorang remaja yang berperan sebagai peserta didik harus menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam dirinya.
B. RUMUSAN MASALAH
Memperhatikan uraian di atas, masalah yang dapat diangkat adalah bagaimana seorang remaja yang berperan sebagai peserta didik dapat mengenal motivasi, mengetahui pentingnya motivasi, pengaruh motivasi dalam belajar, factor-faktor yang mempengaruhi motivasi, jenis-jenis motivasi, dan bagaimana menumbuhkan, meningkatkan serta mempertahankan motivasi.
C. TUJUAN DAN MANFAAT
1. Tujuan
Tujuan makalah ini adalah agar remaja atau peserta didik dapat mengenal motivasi, karena motivasi itu penting dan sangat berpengaruh dalam proses belajar, menumbuhkan dan meningkatkan motivasi dalam dirinya.
2. Manfaat
Manfaat yang diinginkan dari penulisan makalah ini adalah:
a. Menambah pengetahuan dan wawasan pembaca mengenai pengembangan motivasi belajar remaja
b. Membantu pembaca untuk mengenal motivasi, pentingnya motivasi, dan pengetahuan keseluruhan tentang motivasi dalam belajar.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN MOTIVASI
Kemauan berhubungan dengan motivasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pengertian motivasi dapat dilihat secara umum dan secara psikologis. Secara umum, motivasi adlah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Secara psikologis, motivasi adalah usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau sekelompok orang tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendaki atau mendapat kepuasan dari perbuatannya.
Adanya perbedaan pengertian di atas disebab kan oleh adanya dua sudut pandang yang berbeda mengenai motivasi. Akan tetapi, secara umum, motivasi mengacu pada hubungan sebab atau alasan manusia melakukan sesuatu. Menurut Rita L. Atkinson, dkk. dalam bukunya yang berjudul Pengantar Psikologi, para psikolog membatasi konsep motivasi dan memberikan arahan. Maehr dan Meyer dalan buku Educational Psychology mendefinisikan motivasi sebagai sesuatu yang mendorong, mengarahkan, dan menjaga perilaku, membuat seseorang berubah, mengarahkan seseorang untuk tetap melakukan sesuatu atau berada pada suatu keadaan. Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam individu, baik secara sadar maupun tidak, yang memunculkan, mengarahkan,dan mempertahankan perilaku sehingga individu dapat mencapai tujuannya.
B. PENTINGNYA MOTIVASI
Seorang tokoh bernama Ferdinand Foch mengatakan bahwa senjata yang paling ampuh di dunia ini adalah jiwa manusia yang terbakar menyala-nyala. Ini adalah ungkapan tentang motivasi. Motivasi dapat mengalahkan kekuatan, kemalasan dan klelelahan.
Dorongan yang kuat dari dalam akan memunculkan energy untuk terus berusaha mencapai keberhasilan yang diinginkan. Pada saat belajar atau mengerjakan tugas, ada saat kits bersungguh-sungguh, dan ada pula saat sebaliknya. Itu semua dipengaruhi oleh motivasidari dalam diri kita sendiri. Motivasilah yang member daya dorong dalam diri kita untuk melakukan sesuatu. Meskipun keberhasilan bagi siswa ditentukan oleh strategi belajar dan kemampuan dasar yang dimiliki, motivasilah yang menjadi pemicu energy untuk berprestasi.
Intelegensi atau kemampuan intelektual dan bakat merupakan faktor penting untuk mencapai suatu prestasi. Namun, keduanya tidak akan bermanfaat apabila seseorang tidak mempunyai motivasi yang memadai. Di sekolah, motivasi menjadi dasar yang amat penting untuk pencaoaian keberhasilan tujuan pendidikan dan efektivitas kegiatan pembelajaran. Motivasi siswa untuk belajar membuat ia memiliki keinginan kuat untuk mengikuti dan menghargai segala kegiatan yang berhubungan dengan proses belajar.
C. PENGARUH MOTIVASI DALAM BELAJAR
Salah satu penghambat kesuksesan remaja adalah kurangnya motivasi. Untuk mengembangkan pemikiran kreatif, kita harus mempunyai motivasi yang cukup. Motivasi akan membuat kita bersemangat untuk merealisasikan apa yang ada dalam imajinasi kreatif kita. Dalam belajar, motivasi juga sangat dibutuhkan. Belajar merupakan proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa. Untuk mengadakan sebuah proses perubahan tentu dibutuhkan energi, semangat, dan motivasi. Tanpa motivasi kita akan loyo, tak bergairah, tidak ada dinamika, dan tidak akan menghasilkan perubahan seperti yang kita inginkan.
Aziz Bachtiar dalam bukunya yang berjudul Sukses Ala Remaja mengatakan bahwa motivasi membuat seseorang selalu berupaya mewujudkan impiannya. Dari usaha itulah kemudian tercipta berbagai peluang yang akan mengarahkan pada kemujuran-kemujuran dalam hidupnya. Dengan kata lain keberuntungan itu akan lahir setelah seseorang melakukan usaha yang tekun dan tidak mengenal lelah. Dari pengertian itu, sangat tidak mungkin kemujuran atau keberuntungan dating ke dalam kehidupan seseorang jika orang itu tidak pernah melakukan apapun dalam hidupnya.
Jeanne Ellis Ormrod dalam bukunya yang berjudul Educational Psychology, menjelaskan berbagai pengaruh motivasi terhadap perilaku dan proses belajar siswa, yaitu sebagai berikut.
1. Motivasi mengarahkan perilaku seseorang untuk mencapai target.
2. Motivasi meningkatkan usaha dan energi yang dikeluarkan untuk mencapai target.
3. Motivasi membuat seseorang mau melalui suatu pekerjaan dan mempertahankan suatu aktivitas. Siswa lebih mendorong untuk memulai suatu pekerjaan yang diinginkan. Mereka juga cenderung bertahan untuk melakukan suatu pekerjaan hingga selesai, bahkan jika diinterupsi.
4. Motivasi mempengaruhi proses berpikir seseorang. Motivasi mempengaruhi apa dan bagaimana soatu informasi diproses. Orang yang memilki motivasi cenderung meminta bantuan ketika menghadapi kesulitan setelah usahanya sudah maksimal atau meminta penjelasan terhadap suatu tugas atau informasi untuk menyelesaikan tugasnya.
5. Motivasi menunjukkan kosekuensi apa yang diinginkan.
6. Motivasi meningkatkan penampilan atau prestasi.
Motivasi harus selalu ada dan dipelihara agar senantiasa hidup menggelora dalam jiwa kita selamanya. Bila kita kehilangan motivasi, kita akan merasa lemah, malas, tak bergairah, tidak berdaya, bahkan merasa tidak berharga. Kesemuanya ini tentu sangat merugikan diri kita.
D. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI
Motivasi belajar dalam diri seseorang siswa sangat dipengaruhi oleh factor yang sangat terkait dengan perkembangan kehidupannya, yaitu lingkungan budaya atau kebiasaan di lingkungan, keluarga dengan tuntutannya, sekolah dengan system yang diberlakukannya, dan siswa itu sendiri. Lingkungan sering menuntut seorang siswa untuk melakukan ini dan itu serta kelak menjadi orang yang sukses. Ketika seorang siswa dapat secara bijak menanggapi tuntutan ini, maka ia akan termotivasi untuk mewujudkannya, yaitu dengan belajar sungguh-sungguh. Namun, apabila tuntutan itu dianggap terlalu berlebihan dan membebani, maka sebaliknya seorang siswa akan kesulitan belajar dengan baik. Dalam hal ini, kedewasaannya dalam menyikapi lingkungan sangat diperlukan.
Ambisi atau tuntutan orangtua atas aeorang siswa dalam prestasi belajar kadang berlebihan, tanpa melihat realitas dalam diri siswa tersebut. Jika siswa tersebut kuat dan justru termotivasi untuk mewujudkannya, maka hal itu tidak menjadi masalah, walaupun mencapainya tidak mudah. Namun sebaliknya, ambisi yang kurang masuk akal dapat menjadi beban bagi seorang siswa sehingga menurunkan motivasi belajarnya. Menaggapi hal ini, di samping bersikap realistis, seorang siswa seharusnya mempertahankan motivasinya untuk berprestasi.
Factor yang paling dominan menentukan motivasi belajar siswa adalah siswa itu sendiri. Hal ini karena siswa sendirilah yang akhirnya mengambil keputusan tentang apa yang hendak dilakukan dan bertanggung jawab atas hasil belajarnya.
E. JENIS MOTIVASI
Motivasi terbagi menjadi dua, yaitu motivasi ekstrinsik dan motivasi intrinsik. Motivasi ekstrinsik adalah dorongan yang datangnya dari luar diri seseorang dan tidak berhubungan dengan tugas yang dilakukan. Sementara itu, motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri sendiri atau menyatu dengan tugas yang dilakukannya. Seseorang mau melakukan suatu hal karena ingin mendapatkan kesenangan, ingin memperoleh suatu ketrampilan yang dianggapnya penting, atau karena etika dan moral tanpa perlu perangsang dari luar diri seperti hadiah.
Motivasi yang baik adalah motivasi intrinsik sebab lahir dalam diri kita sendiri, bukan dari luar diri kita. Akan tetapi bukan berarti motivasi ekstrinsik tidak penting. Kedua bentuk motivasi ini sangat berperan dalam proses belajar, hanya saja menurut Lepper dalam buku Psikologi Pendidikan, kadang motivasi ekstrinsik dapat merusak motivasi intrinsic. Hal ini terbukti dari penelitian yang dilakukan Lepper (1993) terhadap siswa-siswa taman kanak-kanak, yaitu hadiah yang dijanjikan kepada siswa setelah melakukan sesuatu kegiatan yang sebelumnya tidak mereka lakukan, mengubah motivasi intrinsik anak untuk melakukan suatu kegiatan menjadi motivasi ekstrinsik sehingga anak mau melakukan sesuatu yang diberikan hadiah saja.
Siswa yang memiliki motivasi secara intrinsik biasanya menunjukan keinginan yang lebih untuk terlibat dalam proses belajar dan pengerjaan tugas. Mereka juga cenderung memproses informasi dengan cara yang efektif, misalnya dengan berusaha memahami makna, mengolah, mengembangkan, dan membayangkan apa yang dipelajari. Sebaliknya, siswa yang hanya memiliki motivasi ekstrinsik hanya tertarik untuk mengerjakan tugas yang mudah saja, memiliki keterlibatan yang minim dengan proses belajar mengajar, dan memproses informasi hanya sampai dipermukaan saja sehingga mudah lupa.
Selain motivasi intrinsik dan ekstrinsik, menurut Jeanne Ellis Ormrod dalam buku Education Phychology, dalam proses belajar juga dikenal dua jenis motivasi, yaitu motivasi untuk belajar (motivation to learn) dan motivasi untuk menampilkan (motivation to perform). Pada dasarnya, motivasi untuk belajar termasuk kedalam jenis motivasi intrinsik, sedangkan motivasi untuk menampilkan termasuk ke dalam motivasi ekstrinsik.
Motivasi untuk belajar (motivation to learn) focus pada pencapaian tujuan belajar, yaitu penambahan pengetahuan atau penguasaan ketrampilan baru. Motivasi untuk penampilan (motivation to perform) merupakan motivasi yang focus pada penampilan dan keinginan untuk mendapatkan pujian atau komentar orang lain. Misalnya belajar untuk memperoleh nilai tinggi, belajar untuk memperoleh ijazah, serta belajar agar disenangi guru dan teman-teman.
F. MENUMBUKKAN MOTIVASI
Menumbuhkan motivasi diri adalah bagian dari capaian yang harus dilakukan, agar kita tetap dapat tampil sebagai pemenang dalam era persaingan global. Motivasi tidak dapat tumbuh begitu saja, tetapi memerlukan penanganan serta upaya tersendiri agar kita dapat tampil sebagai pribadi yang mempunyai kepercayaan tinggi (self confidence) namun masih tetap dalam batas batas yang wajar dan masuk akal. Belakangan ini siswa tidak memiliki motivasi belajar yang tinggi. Siswa lebih tertarik pada hal-hal yang sebenarnya kurang bermanfaat. Berikut ini beberapa cara untuk membangkitkan motivasi belajar :
1. Tumbuhkan keyakinan pada diri kita bahwa kita memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah kita canangkan. Jangan sampai timbul keraguan pada diri kita.
2. Kita harus memiliki rasa tanggungjawab atas sesuatu yang menjadi tanggung jawab kita.
3. Menerima setiap resiko yang kita alami dengan lapang dada.
4. Katakana pada diri kita bahwa kegagalan yang kita alami adalah sukses yang tertunda dan akan tercapai dilain waktu sehingga kita punya semangat untuk terus belajar.
5. Merayakan prestasi anda jika dapat mencapai tujuan anda .
6. Ciptakan trik-trik baru yang dapat membuat kita besemangat, misalnya cara-cara belajar.
Cita-cita atau tujuan hidup ini hanya bisa diraih jika kita memiliki motivasi yang kuat dalam diri kita. Tanpa motivasi apapun, sulit sekali kita menggapai apa yang kita cita-citakan. Tapi tak dapat dipungkiri, memang cukup sulit membangun motivasi di dalam diri sendiri. Bahkan mungkin kita nggak tahu pasti bagaimana cara membangun motivasi di dalam diri sendiri. Ada banyak hal yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan motivasi, diantaranya sebagai berikut.
1. Ciptakan sensasi
Ciptakan sesuatu yang dapat “membangunkan” dan membangkitkan gairah anda saat pagi menjelang. Misalnya, anda berpikir esok hari harus mendapatkan keuntungan 1 milyar rupiah. Walau kedengarannya mustahil, tapi sensasi ini kadang memacu semangat anda untuk berkarya lebih baik lagi melebihi apa yang sudah anda lakukan kemarin.
2. Kembangkan terus tujuan anda
Jangan pernah terpaku pada satu tujuan yang sederhana. Tujuan hidup yang terlalu sederhana membuat anda tidak memiliki kekuatan lebih. Padahal untuk meraih sesuatu anda memerlukan tantangan yang lebih besar, untuk mengerahkan kekuatan anda yang sebenarnya. Tujuan hidup yang besar akan membangkitkan motivasi dan kekuatan tersendiri dalam hidup anda.
3. Tetapkan saat kematian
Anda perlu memikirkan saat kematian meskipun gejala ke arah itu tidak dapat diprediksikan. Membayangkan saat-saat terakhir dalam hidup ini sesungguhnya merupakan saat-saat yang sangat sensasional. Anda dapat membayangkan ‘flash back’ dalam kehidupan anda. Sejak anda menjalani masa kanak-kanak, remaja, hingga tampil sebagai pribadi yang dewasa dan mandiri. Jika anda membayangkan ‘ajal’ anda sudah dekat, akan memotivasi anda untuk berbuat lebih banyak lagi hal hal yg baik selama hidup anda.
4. Tinggalkan teman yang tidak perlu
Jangan ragu untuk meninggalkan teman-teman yang tidak dapat mendorong anda mencapai tujuan. Sebab, siapapun teman anda, seharusnya mampu membawa anda pada perubahan yang lebih baik. Ketahuilah bergaul dengan orang-orang yang optimis akan membuat anda berpikir optimis pula. Bersama mereka hidup ini terasa lebih menyenangkan dan penuh motivasi.
5. Hampiri bayangan ketakutan
Saat anda dibayang-bayangi kecemasan dan ketakutan, jangan melarikan diri dari bayangan tersebut. Misalnya selama ini anda takut akan menghadapi masa depan yang buruk. Datang dan nikmati rasa takut anda dengan mencoba mengatasinya. Saat anda berhasil mengatasi rasa takut, saat itu anda telah berhasil meningkatkan keyakinan diri bahwa anda mampu mencapai hidup yang lebih baik.
6. Ucapkan “selamat datang” pada setiap masalah Jalan untuk mencapai tujuan tidak selamanya semulus jalan tol. Suatu saat anda akan menghadapi jalan terjal, menanjak dan penuh bebatuan. Jangan memutar arah untuk mengambil jalan pintas. Hadapi terus jalan tersebut dan pikirkan cara terbaik untuk bisa melewatinya. Jika anda memandang masalah sebagai sesuatu yang mengerikan, anda akan semakin sulit termotivasi. Sebaliknya bila anda selalu siap menghadapi setiap masalah, anda seakan memiliki energi dan semangat berlebih untuk mencapai tujuan anda.
7. Mulailah dengan rasa senang
Jangan pernah merasa terbebani dengan tujuan hidup anda. Coba nikmati hidup dan jalan yang anda tempuh. Jika sejak awal anda sudah merasa ‘tidak suka’ rasanya motivasi hidup tidak akan pernah anda miliki.
8. Berlatih dengan keras
Tidak bisa tidak, anda harus berlatih terus bila ingin mendapatkan hasil terbaik. Pada dasarnya tidak ada yang tidak dapat anda raih jika anda terus berusaha keras. Semakin giat berlatih semakin mudah pula mengatasi setiap kesulitan.
G. MENINGKATKAN MOTIVASI
Lingkungan tempat proses belajar mengajar merupakan salah satu factor yang mempengaruhi motivasi berprestasi seseorang. Siswa seharusnya memilih lingkungan yang memiliki motivasi berprestasi tinggi, yang cenderung mendorong kita untuk memperbaiki diri. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan motivasi belajar menurut Tim MGP & Kelompok Kerja Pengembangan Kurikulum, antara lain sebagai berikut.
1. Dalam setiap usaha belajar perlu ditetapkan niat dan tujuan yang jelas.
2. Merencanakan kegiatan belajar yang sebaik-baiknya.
3. Memahami setiap hambatan yang dihadapi dalam belajar.
4. Berdoa untuk berhasil.
5. Selalu introspeksi dan mengembangkan kesadaran untuk lebih memahami diri.
6. Mau menerima masukan dari orang lain serta dari lingkungan tempat tinggal.
7. Memahami norma-norma tentang belajaryang baik.
8. Mempunyai rencana masa depan.
Menurut Tim MGP & Kelompok Kerja Pengembangan Kurikulum, cara yang efektif untuk meningkatkan motivasi adalah sebagai berikut.
1. Berpikir positif.
Pemikiran yang positit terhadap sesuatu membuat kita menikmati apa yang kita lakukan.
2. Berusaha belajar lebih tekun.
Percaya bahwa belajar merupakan proses untuk mencapai keberhasilan membuat kita tidak putus asa krtika menemui kegagalan, justru kita lebih maksimal lagi dalam berusaha.
3. Belajar dari pengalaman orang lain.
Motivasi tidak harus kita dapatkan dari pengalaman diri sendiri. Membaca kisah kesuksesan orang lain juga menumbuhkan motivasi intrinsik untuk mencapai keberhasilan yang sama.
4. Belajar mandiri dan belajar kelompok.
Ketika belajar, banyak hal baru yang ditemukan. hal itu bias meningkatkan motivasi untuk lebih banyak belajar. Berada di tengah-tengah teman yang memiliki motivasi berprestasi tinggi juga membuat kita termotivasi untuk berprestasi.
5. Belajar dari berbagai sumber belajar.
Semakin variatif sumber yang kita baca, semakin banyak hal baru yang kita temukan. Berbagai sumber bias memberikan pandangan dari berbagai sudut pandang yang berbeda. Hal itu mendorong untuk mengembangkan motivasi.
6. Selalu bersyukur apabila mendapatkan kemudahan dan keberhasilan dalam belajar.
Rasa syukur atas apa yang Allah berikan pada kita dapat membawa kita pada pikiran yang positif.
7. Memulai dan mengakhiri belajar dengan berdoa.
Motivasi dapat berasal dari mana saja. Motivasi dapat dating dari pengalaman, materi, orang lain, atau iman. Iman dapat memberikan motivasi yang tinggi pada seseorang.
H. CARA MEMPERTAHAN KAN MOTIVASI
Cara agar motivasi belajar menjadi panggilan jiwa seorang siswa, ada beberapa pemahaman yang perlu dicamkan oleh pera siswa, antara lain sebagai berikut.
1. Siswa hendaknya mau menerima realitas diri apa adanya. Siswa masih membutuhkan bimbingan untuk berkembang menuju kedewasaan. Karakter dan bakat yang ada harus disadari sebagai kekayaan diri. Kesadaran akan keunikan diri yang dimiliki akan memunculkan penghargaan atas kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri sendiri, sehingga siswa dapatmenghargai diri secara wajar. Hal ini diharapkan mendatangkan kedewasaan untuk mengambil pilihan yang bijak dalam belajar.
2. Siswa hendaknya mau mendalami kemampuan diri dan bersedia menunjukkan segala potensinya tanpa merasa terpaksa.
3. Siswa hendaknya berani menentukan pilihan dan mengambil keputusan tentang masa depannya secara bertanggung jawab. Ini dapat memotivasi diri untuk mengembangkan potensi diri yang dimiliki.
4. Siswa hendaknya mau berdiolog dengan guru dan teman. Saling memahami akan melahirkan perasaan diterima dan mengerti kesulitan masing-masing. Hal ini dapat membantu mencari jalan keluar terbaik atas persoalan yang dihadapi, yang dapat membantu motivasi belajar.
I. KATEGORI MOTIVASI BELAJAR DAN POLA BELAJAR
Menurut Waldi (2005), ada empat kategori motivasi belajar siswa, yaitu achiever, sociable, conscientious, dan curious. Masing-masin dijelaskan sebagai berikut.
1. Siswa dengan motivasi belajar achiever lebih berorientasi pada keinginan untuk unggul dalam persaingan dan bersifat kompetitif. Motivasi ini lebih dipengaruhi oleh faktor teman dan keluarga.
2. Siswa dengan motivasi belajar sociable memiliki semangat kebersamaan, bersifat kooperatif noo-kooperatif. Siswa dengan motivasi ini menyukai keberhasilan bersama.
3. Siswa dengan motivasi belajar conscientious hanya melakukan kegiatan jika telah mendapat petunjuk yang jelas terkait pada peraturan.
4. Siswa dengan motivasi belajar curious selalu ingin tahu, tidak suka kemapanan, dan mendambakan perkembangan. Siswa seperti ini lebih menyukai hal-hal yang baru pada pengembangan keilmuan.
Berdasarkan kategori motivasi belajar di atas kita dapat membandingkan dua pola belajar, yaitu belajar aktif dan belajat pasif. Poter & Hernacki (2003) memilah keduanya sebagai berikut.
1. Belajar Aktif
a. Belajar apa saja dari setiap situasi
b. Menggunakan apa yang dipelajari untuk keuntungan pribadi
c. Mengupayakan agar segalanya terlaksana
d. Bersandar pada kehidupan
2. Belajar Pasif
a. Tidak dapat melihat ada potensi belajar
b. Mengabaikan kesempatan untuk berkembang dari suatu pengalaman belajar
c. Membiarkan segalanya terjadi
d. Menarik diri dari kehidupan
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pengembangan pribadi remaja merupakan proses terjadinya perubahan pribadi untuk menghasilkan peningkatan kualitas kepribadian. Pada remaja kebutuhan akan pengembangan pribadi sangat penting, dalam rangka membantu menuju sebuah kepribadian yang berkualitas. Kenyataan menunjukan bahwa banyak remaja yang sulit untuk mengembangkan pribadinya. Bukti yang dapat diangkat, bahwa banyak remaja sebagai peserta didik yang tidak bersungguh-sungguh dalam mengikuti pelajaran. Salah satu penyebab dari hal tersebut adalah kurangnya motivasi dalam belajar dari peserta didik, oleh karena itu perlu adanya motivasi dalam diri remaja.
Motivasi adalah dorongan dari dalam individu, baik secara sadar maupun tidak, yang memunculkan, mengarahkan,dan mempertahankan perilaku sehingga individu dapat mencapai tujuannya. Dengan motivasi yang kuat di dalam diri, remaja akan memiliki apresiasi dan penghargaan yang tinggi terhadap diri dan hidup ini. Motivasi bias berasal dari berbagai sumber seperti lingkungan social, prestasi, norma, moral, orang lain dan agama. Untuk menumbuhkan motivasi dalam diri bisa dilakukan dengan banyak hal. Salah satunya dengan membuat suatu perencanaan yang dalam jangak waktu tertentu harus kita capai. Dengan sendirinya kita akan termotivasi akan sesuatu yang harus kita capai.
Motivasi dalam diri seseorang bisa muncul kalau seseorang itu sendiri mau melaksanakan suatu hal yang bisa membuatnya semangat dalm suatu pencapaian. Lingukungan juga mendorong untuk lebih bersemangat mulai dari lingkungan keluarga sampai masyarakat umum. Suatu tujuan yang sudah benar-benar menjadi pilihan akan membuat kita termotivasi untuk menggapainya terlepas dari apapun yang membuat kita termotivasi, semuanya tergantung dari keinginan yang kuat dari diri seseorang untuk menggapai apa yang diinginkan atau direncanakan.
B. SARAN
1. Kiranya perlu ditanakan sejak dini pada diri remaja akan pentingnya motivasi.
2. Motivasi akan berkerkembang dengan baik apabila peran pendidik dan koselor lebih aktif dalam proses balajar mengajar, agar remaja atau peserta didik dapat mengembangkan motivasi belajarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Mulyaningtyas, Renita, dan Hadiyanto, Yusup Purnomo. 2006. Bimbingan dan Konseling SMA. Jakarta: Esis.
Rintyastini, Yulita, dan Charlotte, Suzy Yulia. 2006. Bimbingan dan Konseling SMP. Jakarta: Esis.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2007. Bimbingan dan Konseling dalam Praktek. Bandung: Maestro.
http://nilaieka.blogspot.com/2009/cara-menumbuhkan-motivasi.html
http://portalhr.com/majalah/edisisebelumnya/pengembangan/11d40.html
http://langen-basuki.blogspot.com/2008.cara-menumbuhkan-motivasi.html
Minggu, 11 April 2010
“MENGEMBANGKAN MOTIVASI BELAJAR REMAJA SEBAGAI PESERTA DIDIK”
Diposting oleh psikologi pendidikan di 19.04 1 komentar
Kamis, 08 April 2010
SIKAP SOSIAL DAN KONDISI-KONDISI YANG MENYEBABKAN PENERIMAAN ATAU PENOLAKAN SOSIAL PADA REMAJA
Disusun oleh Nurazijah
Masa remaja merupakan masa pencarian identitas atau jati diri dan mengalami kebingungan identitas. Dalam masa itu remaja dihadapkan untuk mencari tahu tentang identitas dirinya dan bagaimana tentang dirinya. Pada masa ini remaja juga mengembangkan identitas dirinya di lingkungan sekitarnya melalui sikap sosial.
Menurut Rita Eka Izzaty, dkk, (2008: 141) mengungkapkan bahwa perkembangan sikap sosial pada remaja itu setidaknya ada dua sikap sosial yakni sikap konformitas dan sikap heteroseksual. Sikap konformitas merupakan sikap ke arah penyamaan kelompok, sifat ini dapat mendorong remaja untuk bersifat positif (misalnya, berpakaiaan rapi seperti teman yang lain, dan menghabiskan waktunya dengan anggota lain untuk kegiatan-kegiatan social yang baik) dan sifat negatif (misalnya, pengrusakan, mencuri, dan melakukan hal yang aneh-aneh bila dilihat oleh orang tua atau guru). Tetapi sebagian besar sikap konformitas pada remaja menunjukkan prilaku yang positif. Berdasarkan sikap konformitas remaja, mereka mempunyai tujuan untuk dapat menyatu dengan kelompoknya, dapat mengekspresikan sikap individualnya dan kelompok remaja dapat menunjukkan bahwa kelompok mereka terpisah dengan kelompok orang dewasa.
Bidang heteroseksual merupakan hal yang paling menonjol dari perubahan sikap dan perilaku seksual yang terjadi pada remaja. Pada masa remaja mengalami perkembangan dari tidak menyukai lawan jenisnya, sampai menyukai lawan jenisnya, hal ini mengakibatkan kegiatan antar remaja menjadi meningkat. Mereka mempunyai kesempatan dalam kegiatan social yang semakin luas, dan dalam memilih kelompok remaja akan dapat menilai teman dengan lebih baik, sehingga penyesuaiannya diberbagai situasi sosial juga menjadi lebih baik. Dalam hal ini kemampuan sosial yang dapat meningkatkan kepercayaan diri pada remaja mengalami perkembangan yang lebih baik. Berdasarkan sikap hubungan heteroseksual ada empat tujuan yang dicapai oleh remaja (Rita Eka Izzaty, 2008: 142), yaitu: pertama, remaja dapat belajar berinteraksi dengan lawan jenis, dimana akan mempermudah perkembangan social mereka terutama dalam menyiapkan perkawinan dalam kehidupan keluarga. Kedua, remaja dapat melatih diri untuk menjadi mandiri, yang diperoleh dari berbagai kegiatan sosial. Ketiga, remaja akan mendapatkan status tersendiri dalam kelompok. Dan yang keempat, remaja dapat belajar memilih teman.
Dalam suatu kelompok remaja terdapat nilai-nilai yang digunakan sebagai dasar untuk penerimaan atau penolakan dalam kelompok. Nilai-nilai itu berdasarkan pada sekumpulan sifat dan bentuk perilaku yang disenangi dan tidak disenangi oleh remaja dan dapat menambah gengsi pada kelompok. Menurut Hurlock (1991), kondisi-kondisi yang menyebabkan remaja diterima atau ditolak adalah sebagai berikut.
Diterima (Sindroma Penerimaan)
• Kesan pertama yang menyenangkan sebagai akibat dari penampilan yang menariangk perhatian, sikap yang tenang dan gembira.
• Memiliki reputasi sebagai orang yang sportif dan menyenangkan.
• Penampilan diri yang sesuai dengan penampilan teman-teman sebaya.
• Perilaku sosial yang ditandai oleh kerjasama, tanggungjawab, panjang akal, kesenangan bersama orang lain, bijaksana serta berlaku sopan.
• Matang, terutama dalam hal pengendalian emosi serta kemauan untuk mengikuti peraturan peraturan kelompok.
• Memiliki sifat kepribadian yang menimbulkan penyesuaian sosial yang baik seperti sifst-sifat jujur, setia, tidak mementingkan diri sendiri dan terbuka.
• Status sosial ekonomi yang sama atau sedikit di atas anggota-anggota lainnya dalam kelompoknya dan hubungan yang baik dengan anggota-anggota keluarga.
• Tempat tinggal yang dekat dengan kelompok sehingga mempermudah hubungan dan partisipasi dalm berbagai kegiatan kelompok.
Ditolak (Sistem Alienasi)
• Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menatik atau sikap menjauhkan diri, yang mementingkan diri sendiri.
• Terkenal sebagai orang yang tidak sportif, penampilan yang tidak sesuai dengan standar dengan kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapian.
• Prilaku social yang ditandai oleh perilaku menonjolkan diri, mengganggu dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama dan kurang bijaksana.
• Kurang kematangan, terutama kelibatan dalam hal pengendalian emosi, ketenangan, kepercayaan diri dan kebijaksanaan.
• Sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah, dan mudah marah.
• Status sosioekonomis berada di bawah status sosioekonomis kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota keluarga.
• Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok karena tanggungjawab keluarga atau bekerja sambilan.
DAFTAR PUSTAKA
Elizabeth B. Hurlock. 1991. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Alih Bahasa Istiwidayanti. Jakarta; Erlangga.
Rita Eka Izzaty, dkk. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Yogyakarta; UNY Press.
Diposting oleh psikologi pendidikan di 18.11 1 komentar
Minggu, 28 Maret 2010
PERSPEKTIF DALAM PSIKOLOGI SOSIAL
Materi ini di susun oleh Hasan Mustafa
Pengantar :
Tulisan ini disusun sebagai upaya membantu mahasiswa memahami isi mata kuliah Psikologi Sosial pada program studi Administrasi Negara Fisip Unpar. Acuan uraian ini adalah buku yang ditulis oleh James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, dan James Vander Zanden ( 1994), dilengkapi oleh sumber bacaan lain. Topik lain yang juga merupakan pokok bahasan dalam mata kuliah tersebut akan segera disusun. Semoga bermanfaat.
Akar awal Psikologi Sosial
Walau psikologi sosial merupakan disiplin yang telah lama ada ( sejak Plato dan Aristotle), namun secara resmi, disiplin ini menjadi satu ilmu yang mandiri baru sejak tahun 1908. Pada tahun itu ada dua buku teks yang terkenal yaitu "Introduction to Social Psychology" ditulis oleh William McDougall - seorang psikolog - dan "Social Psychology : An Outline and Source Book , ditulis oleh E.A. Ross - seorang sosiolog. Berdasarkan latar belakang penulisnya maka dapat dipahami bahwa psikologi sosial bisa di"claim" sebagai bagian dari psikologi, dan bisa juga sebagai bagian dari sosiologi. Psikologi sosial juga merupakan pokok bahasan dalam sosiologi karena dalam sosiologi dikenal ada dua perspektif utama, yaitu perspektif struktural makro yang menekankan kajian struktur sosial, dan perspektif mikro yang menekankan pada kajian individualistik dan psikologi sosial dalam menjelaskan variasi perilaku manusia.. Di Amerika disiplin ini banyak dibina oleh jurusan sosiologi - di American Sociological Association terdapat satu bagian yang dinamakan "social psychological section", sedangkan di Indonesia, secara formal disiplin psikologi sosial di bawah binaan fakultas psikologi, namun dalam prakteknya tidak sedikit para pakar sosiologi yang juga menguasai disiplin ini sehingga dalam berbagai tulisannya, cara pandang psikologi sosial ikut mewarnainya.
Apakah perbedaan di antara Sosiologi dan Psikologi ??
Kita sering berpikir bahwa yang namanya dunia psikologi adalah dunia yang berkaitan dengan persoalan perasaan, motivasi, kepribadian, dan yang sejenisnya. Dan kalau berpikir tentang sosiologi, secara umum cenderung memikirkan persoalan kemasyarakatan. Kajian utama psikologi adalah pada persoalan kepribadian, mental, perilaku, dan dimensi-dimensi lain yang ada dalam diri manusia sebagai individu. Sosiologi lebih mengabdikan kajiannya pada budaya dan struktur sosial yang keduanya mempengaruhi interaksi, perilaku, dan kepribadian. Kedua bidang ilmu tersebut bertemu di daerah yang dinamakan psikologi sosial . Dengan demikian para psikolog berwenang merambah bidang ini, demikian pula para sosiolog. Namun karena perbedaan latar belakang maka para psikolog akan menekankan pengaruh situasi sosial terhadap proses dasar psikologikal - persepsi, kognisi, emosi, dan sejenisnya - sedangkan para sosiolog akan lebih menekankan pada bagaimana budaya dan struktur sosial mempengaruhi perilaku dan interaksi para individu dalam konteks sosial, dan lalu bagaimana pola perilaku dan interaksi tadi mengubah budaya dan struktur sosial. Jadi psikologi akan cenderung memusatkan pada atribut dinamis dari seseorang; sedangkan sosiologi akan mengkonsentrasikan pada atribut dan dinamika seseorang, perilaku, interaksi, struktur sosial, dan budaya, sebagai faktor-faktor yang saling mempengaruhi satu sama lainnya.
Pertanyaan yang paling mendasar yang senantiasa menjadi kajian dalam psikologi sosial adalah : " Bagaimana kita dapat menjelaskan pengaruh orang lain terhadap perilaku kita?'". Misalnya di Prancis, para analis sosial sering mengajukan pertanyaan mengapa pada saat revolusi Prancis, perilaku orang menjadi cenderung emosional ketimbang rasional? Demikian juga di Jerman dan Amerika Serikat dilakukan studi tentang kehadiran orang lain dalam memacu prestasi seseorang . Misalnya ketika seorang anak belajar seorang diri dan belajar dalam kelompok, bisa menunjukan prestasi lebih baik dibandingkan ketika mereka belajar sendiri. Gordon Allport (1968) menjelaskan bahwa seorang boleh disebut sebagai psikolog sosial jika dia "berupaya memahami, menjelaskan, dan memprediksi bagaimana pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu dipengaruhi oleh pikiran, perasaan, dan tindakan-tindakan orang lain yang dilihatnya, atau bahkan hanya dibayangkannya"
Teori-teori awal yang dianggap mampu menjelaskan perilaku seseorang, difokuskan pada dua kemungkinan (1) perilaku diperoleh dari keturunan dalam bentuk instink-instink biologis - lalu dikenal dengan penjelasan "nature" - dan (2) perilaku bukan diturunkan melainkan diperoleh dari hasil pengalaman selama kehidupan mereka - dikenal dengan penjelasan "nurture". Penjelasan "nature" dirumuskan oleh ilmuwan Inggris Charles Darwin pada abad kesembilan belas di mana dalam teorinya dikemukakan bahwa semua perilaku manusia merupakan serangkaian instink yang diperlukan agar bisa bertahan hidup. Mc Dougal sebagai seorang psikolog cenderung percaya bahwa seluruh perilaku sosial manusia didasarkan pada pandangan ini (instinktif).
Namun banyak analis sosial yang tidak percaya bahwa instink merupakan sumber perilaku sosial. Misalnya William James, seorang psikolog percaya bahwa walau instink merupakan hal yang mempengaruhi perilaku sosial, namun penjelasan utama cenderung ke arah kebiasaan - yaitu pola perilaku yang diperoleh melalui pengulangan sepanjang kehidupan seseorang. Hal ini memunculkan "nurture explanation". Tokoh lain yang juga seorang psikolog sosial, John Dewey mengatakan bahwa perilaku kita tidak sekedar muncul berdasarkan pengalaman masa lampau, tetapi juga secara terus menerus berubah atau diubah oleh lingkungan - "situasi kita" - termasuk tentunya orang lain.
Berbagai alternatif yang berkembang dari kedua pendekatan tersebut kemudian memunculkan berbagai perspektif dalam psikologi sosial - seperangkat asumsi dasar tentang hal paling penting yang bisa dipertimbangkan sebagai sesuatu yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial. Ada empat perspektif, yaitu : perilaku (behavioral perspectives) , kognitif (cognitive perspectives), stuktural (structural perspectives), dan interaksionis (interactionist perspectives).
Perspektif perilaku dan kognitif lebih banyak digunakan oleh para psikolog sosial yang berakar pada psikologi. Mereka sering menawarkan jawaban yang berbeda atas sebuah pertanyaan : "Seberapa besar perhatian yang seharusnya diberikan oleh para psikolog sosial pada kegiatan mental dalam upayanya memahami perilaku sosial?". Perspektif perilaku menekankan, bahwa untuk dapat lebih memahami perilaku seseorang, seyogianya kita mengabaikan informasi tentang apa yang dipikirkan oleh seseorang. Lebih baik kita memfokuskan pada perilaku seseorang yang dapat diuji oleh pengamatan kita sendiri. Dengan mempertimbangkan proses mental seseorang, kita tidak terbantu memahami perilaku orang tersebut, karena seringkali proses mental tidak reliabel untuk memprediksi perilaku. Misalnya tidak semua orang yang berpikiran negatif tentang sesuatu, akan juga berperilaku negatif. Orang yang bersikap negatif terhadap bangsa A misalnya, belum tentu dia tidak mau melakukan hubungan dengan bangsa A tersebut. Intinya pikiran, perasaan, sikap (proses mental) bukan sesuatu yang bisa menjelaskan perilaku seseorang.
Sebaliknya, perspektif kognitif menekankan pada pandangan bahwa kita tidak bisa memahami perilaku seseorang tanpa mempelajari proses mental mereka. Manusia tidak menanggapi lingkungannya secara otomatis. Perilaku mereka tergantung pada bagaimana mereka berpikir dan mempersepsi lingkungannya. Jadi untuk memperoleh informasi yang bisa dipercaya maka proses mental seseorang merupakan hal utama yang bisa menjelaskan perilaku sosial seseorang.
Perspektif struktural dan interaksionis lebih sering digunakan oleh para psikolog sosial yang berasal dari disiplin sosiologi. Pertanyaan yang umumnya diajukan adalah : " Sejauhmana kegiatan-kegiatan individual membentuk interaksi sosial ?". Perspektif struktural menekankan bahwa perilaku seseorang dapat dimengerti dengan sangat baik jika diketahui peran sosialnya. Hal ini terjadi karena perilaku seseorang merupakan reaksi terhadap harapan orang-orang lain. Seorang mahasiswa rajin belajar, karena masyarakat mengharapkan agar yang namanya mahasiswa senantiasa rajin belajar. Seorang ayah rajin bekerja mencari nafkah guna menghidupi keluarganya. Mengapa ? Karena masyarakat mengharapkan dia berperilaku seperti itu, jika tidak maka dia tidak pantas disebut sebagai "seorang ayah". Perspektif interaksionis lebih menekankan bahwa manusia merupakan agen yang aktif dalam menetapkan perilakunya sendiri, dan mereka yang membangun harapan-harapan sosial. Manusia bernegosiasi satu sama lainnya untuk membentuk interaksi dan harapannya. Untuk lebih jelas, di bawah ini diuraikan satu persatu keempat prespektif dalam psikologi sosial.
1. Perspektif Perilaku (Behavioral Perspective)
Pendekatan ini awalnya diperkenalkan oleh John B. Watson (1941, 1919). Pendekatan ini cukup banyak mendapat perhatian dalam psikologi di antara tahun 1920-an s/d 1960-an. Ketika Watson memulai penelitiannya, dia menyarankan agar pendekatannya ini tidak sekedar satu alternatif bagi pendekatan instinktif dalam memahami perilaku sosial, tetapi juga merupakan alternatif lain yang memfokuskan pada pikiran, kesadaran, atau pun imajinasi. Watson menolak informasi instinktif semacam itu, yang menurutnya bersifat "mistik", "mentalistik", dan "subyektif". Dalam psikologi obyektif maka fokusnya harus pada sesuatu yang "dapat diamati" (observable), yaitu pada "apa yang dikatakan (sayings) dan apa yang dilakukan (doings)". Dalam hal ini pandangan Watson berbeda dengan James dan Dewey, karena keduanya percaya bahwa proses mental dan juga perilaku yang teramati berperan dalam menyelaskan perilaku sosial.
Para "behaviorist" memasukan perilaku ke dalam satu unit yang dinamakan "tanggapan" (responses), dan lingkungan ke dalam unit "rangsangan" (stimuli). Menurut penganut paham perilaku, satu rangsangan dan tanggapan tertentu bisa berasosiasi satu sama lainnya, dan menghasilkan satu bentuk hubungan fungsional. Contohnya, sebuah rangsangan " seorang teman datang ", lalu memunculkan tanggapan misalnya, "tersen-yum". Jadi seseorang tersenyum, karena ada teman yang datang kepadanya. Para behavioris tadi percaya bahwa rangsangan dan tanggapan dapat dihubungkan tanpa mengacu pada pertimbangan mental yang ada dalam diri seseorang. Jadi tidak terlalu mengejutkan jika para behaviorisme tersebut dikategorikan sebagai pihak yang menggunakan pendekatan "kotak hitam (black-box)" . Rangsangan masuk ke sebuah kotak (box) dan menghasilkan tanggapan. Mekanisme di dalam kotak hitam tadi - srtuktur internal atau proses mental yang mengolah rangsangan dan tanggapan - karena tidak dapat dilihat secara langsung (not directly observable), bukanlah bidang kajian para behavioris tradisional.
Kemudian, B.F. Skinner (1953,1957,1974) membantu mengubah fokus behaviorisme melalui percobaan yang dinamakan "operant behavior" dan "reinforcement". Yang dimaksud dengan "operant condition" adalah setiap perilaku yang beroperasi dalam suatu lingkungan dengan cara tertentu, lalu memunculkan akibat atau perubahan dalam lingkungan tersebut. Misalnya, jika kita tersenyum kepada orang lain yang kita hadapi, lalu secara umum, akan menghasilkan senyuman yang datangnya dari orang lain tersebut. Dalam kasus ini, tersenyum kepada orang lain tersebut merupakan "operant behavior". Yang dimaksud dengan "reinforcement" adalah proses di mana akibat atau perubahan yang terjadi dalam lingkungan memperkuat perilaku tertentu di masa datang . Misalnya, jika kapan saja kita selalu tersenyum kepada orang asing (yang belum kita kenal sebelumnya), dan mereka tersenyum kembali kepada kita, maka muncul kemungkinan bahwa jika di kemudian hari kita bertemu orang asing maka kita akan tersenyum. Perlu diketahui, reinforcement atau penguat, bisa bersifat positif dan negatif. Contoh di atas merupakan penguat positif. Contoh penguat negatif, misalnya beberapa kali pada saat kita bertemu dengan orang asing lalu kita tersenyum dan orang asing tersebut diam saja atau bahkan menunjukan rasa tidak suka, maka dikemudian hari jika kita bertemu orang asing kembali, kita cenderung tidak tersenyum (diam saja).
Dalam pendekatan perilaku terdapat teori-teori yang mencoba menjelaskan secara lebih mendalam mengapa fenomena sosial yang diutarakan dalam pendekatan perilaku bisa terjadi. Beberapa teori antara lain adalah Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) dan Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory).
a. Teori Pembelajaran Sosial.
Di tahun 1941, dua orang psikolog - Neil Miller dan John Dollard - dalam laporan hasil percobaannya mengatakan bahwa peniruan (imitation) di antara manusia tidak disebabkan oleh unsur instink atau program biologis. Penelitian kedua orang tersebut mengindikasikan bahwa kita belajar (learn) meniru perilaku orang lain. Artinya peniruan tersebut merupakan hasil dari satu proses belajar, bukan bisa begitu saja karena instink. Proses belajar tersebut oleh Miller dan Dollard dinamakan "social learning " - "pembelajaran sosial". Perilaku peniruan (imitative behavior) kita terjadi karena kita merasa telah memperoleh imbalan ketika kita meniru perilaku orang lain, dan memperoleh hukuman ketika kita tidak menirunya. Agar seseorang bisa belajar mengikuti aturan baku yang telah ditetapkan oleh masyarakat maka "para individu harus dilatih, dalam berbagai situasi, sehingga mereka merasa nyaman ketika melakukan apa yang orang lain lakukan, dan merasa tidak nyaman ketika tidak melakukannya.", demikian saran yang dikemukakan oleh Miller dan Dollard.
Dalam penelitiannya, Miller dan Dollard menunjukan bahwa anak-anak dapat belajar meniru atau tidak meniru seseorang dalam upaya memperoleh imbalan berupa permen. Dalam percobaannya tersebut, juga dapat diketahui bahwa anak-anak dapat membedakan orang-orang yang akan ditirunya. Misalnya jika orang tersebut laki-laki maka akan ditirunya, jika perempuan tidak. Lebih jauh lagi, sekali perilaku peniruan terpelajari (learned), hasil belajar ini kadang berlaku umum untuk rangsangan yang sama. Misalnya, anak-anak cenderung lebih suka meniru orang-orang yang mirip dengan orang yang sebelumnya memberikan imbalan. Jadi, kita mempelajari banyak perilaku "baru" melalui pengulangan perilaku orang lain yang kita lihat. Kita contoh perilaku orang-orang lain tertentu, karena kita mendapatkan imbalan atas peniruan tersebut dari orang-orang lain tertentu tadi dan juga dari mereka yang mirip dengan orang-orang lain tertentu tadi, di masa lampau.
Dua puluh tahun berikutnya, Albert Bandura dan Richard Walters (1959, 1963), mengusulkan satu perbaikan atas gagasan Miller dan Dollard tentang belajar melalui peniruan. Bandura dan Walters menyarankan bahwa kita belajar banyak perilaku melalui peniruan, bahkan tanpa adanya penguat (reinforcement) sekalipun yang kita terima. Kita bisa meniru beberapa perilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimbulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" - pembelajaran melalui pengamatan. Contohnya, percobaan Bandura dan Walters mengindikasikan bahwa ternyata anak-anak bisa mempunyai perilaku agresif hanya dengan mengamati perilaku agresif sesosok model, misalnya melalui film atau bahkan film karton.
Bandura (1971), kemudian menyarankan agar teori pembelajaran sosial seyogianya diperbaiki lebih jauh lagi. Dia mengatakan bahwa teori pembelajaran sosial yang benar-benar melulu menggunakan pendekatan perilaku dan lalu mengabaikan pertimbangan proses mental, perlu dipikirkan ulang. Menurut versi Bandura, maka teori pembelajaran sosial membahas tentang (1) bagaimana perilaku kita dipengaruhi oleh lingkungan melalui penguat (reinforcement) dan observational learning, (2) cara pandang dan cara pikir yang kita miliki terhadap informasi, (3) begitu pula sebaliknya, bagaimana perilaku kita mempengaruhi lingkungan kita dan menciptakan penguat (reinforcement) dan observational opportunity - kemungkinan bisa diamati oleh orang lain.
b. Teori Pertukaran Sosial (Social Exchange Theory)
Tokoh-tokoh yang mengembangkan teori pertukaran sosial antara lain adalah psikolog John Thibaut dan Harlod Kelley (1959), sosiolog George Homans (1961), Richard Emerson (1962), dan Peter Blau (1964). Berdasarkan teori ini, kita masuk ke dalam hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya kita memperoleh imbalan. Dengan kata lain hubungan pertukaran dengan orang lain akan menghasilkan suatu imbalan bagi kita. Seperti halnya teori pembelajaran sosial, teori pertukaran sosial pun melihat antara perilaku dengan lingkungan terdapat hubungan yang saling mempengaruhi (reciprocal). Karena lingkungan kita umumnya terdiri atas orang-orang lain, maka kita dan orang-orang lain tersebut dipandang mempunyai perilaku yang saling mempengaruhi Dalam hubungan tersebut terdapat unsur imbalan (reward), pengorbanan (cost) dan keuntungan (profit). Imbalan merupakan segala hal yang diperloleh melalui adanya pengorbanan, pengorbanan merupakan semua hal yang dihindarkan, dan keuntungan adalah imbalan dikurangi oleh pengorbanan. Jadi perilaku sosial terdiri atas pertukaran paling sedikit antar dua orang berdasarkan perhitungan untung-rugi. Misalnya, pola-pola perilaku di tempat kerja, percintaan, perkawinan, persahabatan - hanya akan langgeng manakala kalau semua pihak yang terlibat merasa teruntungkan. Jadi perilaku seseorang dimunculkan karena berdasarkan perhitungannya, akan menguntungkan bagi dirinya, demikian pula sebaliknya jika merugikan maka perilaku tersebut tidak ditampilkan.
Berdasarkan keyakinan tersebut Homans dalam bukunya "Elementary Forms of Social Behavior, 1974 mengeluarkan beberapa proposisi dan salah satunya berbunyi :"Semua tindakan yang dilakukan oleh seseorang, makin sering satu bentuk tindakan tertentu memperoleh imbalan, makin cenderung orang tersebut menampilkan tindakan tertentu tadi ". Proposisi ini secara eksplisit menjelaskan bahwa satu tindakan tertentu akan berulang dilakukan jika ada imbalannya. Proposisi lain yang juga memperkuat proposisi tersebut berbunyi : "Makin tinggi nilai hasil suatu perbuatan bagi seseorang, makin besar pula kemungkinan perbuatan tersebut diulanginya kembali". Bagi Homans, prinsip dasar pertukaran sosial adalah "distributive justice" - aturan yang mengatakan bahwa sebuah imbalan harus sebanding dengan investasi. Proposisi yang terkenal sehubungan dengan prinsip tersebut berbunyi " seseorang dalam hubungan pertukaran dengan orang lain akan mengharapkan imbalan yang diterima oleh setiap pihak sebanding dengan pengorbanan yang telah dikeluarkannya - makin tingghi pengorbanan, makin tinggi imbalannya - dan keuntungan yang diterima oleh setiap pihak harus sebanding dengan investasinya - makin tinggi investasi, makin tinggi keuntungan".
Inti dari teori pembelajaran sosial dan pertukaran sosial adalah perilaku sosial seseorang hanya bisa dijelaskan oleh sesuatu yang bisa diamati, bukan oleh proses mentalistik (black-box). Semua teori yang dipengaruhi oleh perspektif ini menekankan hubungan langsung antara perilaku yang teramati dengan lingkungan.
2. Perspektif Kognitif (The Cognitive Perspective)
Kita telah memberikan indikasi bahwa kebiasaan (habit) merupakan penjelasan alternatif yang bisa digunakan untuk memahami perilaku sosial seseorang di samping instink (instinct). Namun beberapa analis sosial percaya bahwa kalau hanya kedua hal tersebut (kebiasaan dan instink) yang dijadikan dasar, maka dipandang terlampau ekstrem - karena mengabaikan kegiatan mental manusia.
Seorang psikolog James Baldwin (1897) menyatakan bahwa paling sedikit ada dua bentuk peniruan, satu didasarkan pada kebiasaan kita dan yang lainnya didasarkan pada wawasan kita atas diri kita sendiri dan atas orang lain yang perilakunya kita tiru. Walau dengan konsep yang berbeda seorang sosiolog Charles Cooley (1902) sepaham dengan pandangan Baldwin. Keduanya memfokuskan perhatian mereka kepada perilaku sosial yang melibatkan proses mental atau kognitif .
Kemudian banyak para psikolog sosial menggunakan konsep sikap (attitude) untuk memahami proses mental atau kognitif tadi. Dua orang sosiolog W.I. Thomas dan Florian Znaniecki mendefinisikan psikologi sosial sebagai studi tentang sikap, yang diartikannya sebagai proses mental individu yang menentukan tanggapan aktual dan potensial individu dalam dunia sosial". Sikap merupakan predisposisi perilaku. Beberapa teori yang melandasi perpektif ini antara lain adalah Teori Medan (Field Theory), Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap (Concistency Attitude and Attribution Theory), dan Teori Kognisi Kontemporer.
a. Teori Medan (Field Theory)
Seorang psikolog, Kurt Lewin (1935,1936) mengkaji perilaku sosial melalui pendekatan konsep "medan"/"field" atau "ruang kehidupan" - life space. Untuk memahami konsep ini perlu dipahami bahwa secara tradisional para psikolog memfokuskan pada keyakinan bahwa karakter individual (instink dan kebiasaan), bebas - lepas dari pengaruh situasi di mana individu melakukan aktivitas. Namun Lewin kurang sepaham dengan keyakinan tersebut. Menurutnya penjelasan tentang perilaku yang tidak memperhitungkan faktor situasi, tidaklah lengkap. Dia merasa bahwa semua peristiwa psikologis apakah itu berupa tindakan, pikiran, impian, harapan, atau apapun, kesemuanya itu merupakan fungsi dari "ruang kehidupan"- individu dan lingkungan dipandang sebagai sebuah konstelasi yang saling tergantung satu sama lainnya. Artinya "ruang kehidupan" merupakan juga merupakan determinan bagi tindakan, impian, harapan, pikiran seseorang. Lewin memaknakan "ruang kehidupan" sebagai seluruh peristiwa (masa lampau, sekarang, masa datang) yang berpengaruh pada perilaku dalam satu situasi tertentu.
Bagi Lewin, pemahaman atas perilaku seseorang senantiasa harus dikaitkan dengan konteks - lingkungan di mana perilaku tertentu ditampilkan. Intinya, teori medan berupaya menguraikan bagaimana situasi yang ada (field) di sekeliling individu bepengaruh pada perilakunya. Sesungguhnya teori medan mirip dengan konsep "gestalt" dalam psikologi yang memandang bahwa eksistensi bagian-bagian atau unsur-unsur tidak bisa terlepas satu sama lainnya. Misalnya, kalau kita melihat bangunan, kita tidak melihat batu bata, semen, kusen, kaca, secara satu persatu. Demikian pula kalau kita mempelajari perilaku individu, kita tidak bisa melihat individu itu sendiri, lepas dari konteks di mana individu tersebut berada.
b. Teori Atribusi dan Konsistensi Sikap ( Attitude Consistency and Attribution Theory)
Fritz Heider (1946, 1958), seorang psikolog bangsa Jerman mengatakan bahwa kita cenderung mengorganisasikan sikap kita, sehingga tidak menimbulkan konflik. Contohnya, jika kita setuju pada hak seseorang untuk melakukan aborsi, seperti juga orang-orang lain, maka sikap kita tersebut konsisten atau seimbang (balance). Namun jika kita setuju aborsi tetapi ternyata teman-teman dekat kita dan juga orang-orang di sekeliling kita tidak setuju pada aborsi maka kita dalam kondisi tidak seimbang (imbalance). Akibatnya kita merasa tertekan (stress), kurang nyaman, dan kemudian kita akan mencoba mengubah sikap kita, menyesuaikan dengan orang-orang di sekitar kita, misalnya dengan bersikap bahwa kita sekarang tidak sepenuhnya setuju pada aborsi. Melalui pengubahan sikap tersebut, kita menjadi lebih nyaman. Intinya sikap kita senantiasa kita sesuaikan dengan sikap orang lain agar terjadi keseimbangan karena dalam situasi itu, kita menjadi lebih nyaman.
Heider juga menyatakan bahwa kita mengorganisir pikiran-pikiran kita dalam kerangka "sebab dan akibat". Agar supaya bisa meneruskan kegiatan kita dan mencocokannya dengan orang-orang di sekitar kita, kita mentafsirkan informasi untuk memutuskan penyebab perilaku kita dan orang lain. Heider memperkenalkan konsep "causal attribution" - proses penjelasan tentang penyebab suatu perilaku. Mengapa Tono pindah ke kota lain ?, Mengapa Ari keluar dari sekolah ?. Kita bisa menjelaskan perilaku sosial dari Tono dan Ari jika kita mengetahui penyebabnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kita bedakan dua jenis penyebab, yaitu internal dan eksternal. Penyebab internal (internal causality) merupakan atribut yang melekat pada sifat dan kualitas pribadi atau personal, dan penyebab external (external causality) terdapat dalam lingkungan atau situasi.
c. Teori Kognitif Kontemporer
Dalam tahun 1980-an, konsep kognisi, sebagian besarnya mewarnai konsep sikap. Istilah "kognisi" digunakan untuk menunjukan adanya proses mental dalam diri seseorang sebelum melakukan tindakan. Teori kognisi kontemporer memandang manusia sebagai agen yang secara aktif menerima, menggunakan, memanipulasi, dan mengalihkan informasi. Kita secara aktif berpikir, membuat rencana, memecahkan masalah, dan mengambil keputusan. Manusia memproses informasi dengan cara tertentu melalui struktur kognitif yang diberi istilah "schema" (Markus dan Zajonc, 1985 ; Morgan dan Schwalbe, 1990; Fiske and Taylor, 1991). Struktur tersebut berperan sebagai kerangka yang dapat menginterpretasikan pengalaman-pengalaman sosial yang kita miliki. Jadi struktur kognisi bisa membantu kita mencapai keterpaduan dengan lingkungan, dan membantu kita untuk menyusun realitas sosial. Sistem ingatan yang kita miliki diasumsikan terdiri atas struktur pengetahuan yang tak terhitung jumlahnya.
Intinya, teori-teori kognitif memusatkan pada bagaiamana kita memproses informasi yang datangnya dari lingkungan ke dalam struktur mental kita Teori-teori kognitif percaya bahwa kita tidak bisa memahami perilaku sosial tanpa memperoleh informasi tentang proses mental yang bisa dipercaya, karena informasi tentang hal yang obyektif, lingkungan eksternal belum mencukupi.
3. Perspektif Struktural
Telah kita catat bahwa telah terjadi perdebatan di antara para ilmuwan sosial dalam hal menjelaskan perilaku sosial seseorang. Untuk menjelaskan perilaku sosial seseorang dapat dikaji sebagai sesuatu proses yang (1) instinktif, (2) karena kebiasaan, dan (3) juga yang bersumber dari proses mental. Mereka semua tertarik, dan dengan cara sebaik mungkin lalu menguraikan hubungan antara masyarakat dengan individu. William James dan John Dewey menekankan pada penjelasan kebiasaan individual, tetapi mereka juga mencatat bahwa kebiasaan individu mencerminkan kebiasaan kelompok - yaitu adat-istiadat masyarakat - atau strutur sosial . Para sosiolog yakin bahwa struktur sosial terdiri atas jalinan interaksi antar manusia dengan cara yang relatif stabil. Kita mewarisi struktur sosial dalam satu pola perilaku yang diturunkan oleh satu generasi ke generasi berikutnya, melalui proses sosialisasi. Disebabkan oleh struktur sosial, kita mengalami kehidupan sosial yang telah terpolakan. James menguraikan pentingnya dampak struktur sosial atas "diri" (self) - perasaan kita terhadap diri kita sendiri. Masyarakat mempengaruhi diri - self.
Sosiolog lain Robert Park dari Universitas Chicago memandang bahwa masyarakat mengorganisasikan, mengintegrasikan, dan mengarahkan kekuatan-kekuatan individu- individu ke dalam berbagai macam peran (roles). Melalui peran inilah kita menjadi tahu siapa diri kita. Kita adalah seorang anak, orang tua, guru, mahasiswa, laki-laki, perempuan, Islam, Kristen. Konsep kita tentang diri kita tergantung pada peran yang kita lakukan dalam masyarakat. Beberapa teori yang melandasi persektif strukturan adalah Teori Peran (Role Theory), Teori Pernyataan - Harapan (Expectation-States Theory), dan Posmodernisme (Postmodernism)
a. Teori Peran (Role Theory)
Walau Park menjelaskan dampak masyarakat atas perilaku kita dalam hubungannya dengan peran, namun jauh sebelumnya Robert Linton (1936), seorang antropolog, telah mengembangkan Teori Peran. Teori Peran menggambarkan interaksi sosial dalam terminologi aktor-aktor yang bermain sesuai dengan apa-apa yang ditetapkan oleh budaya. Sesuai dengan teori ini, harapan-harapan peran merupakan pemahaman bersama yang menuntun kita untuk berperilaku dalam kehidupan sehari-hari. Menurut teori ini, seseorang yang mempunyai peran tertentu misalnya sebagai dokter, mahasiswa, orang tua, wanita, dan lain sebagainya, diharapkan agar seseorang tadi berperilaku sesuai dengan peran tersebut. Mengapa seseorang mengobati orang lain, karena dia adalah seorang dokter. Jadi karena statusnya adalah dokter maka dia harus mengobati pasien yang datang kepadanya. Perilaku ditentukan oleh peran sosial
Kemudian, sosiolog yang bernama Glen Elder (1975) membantu memperluas penggunaan teori peran. Pendekatannya yang dinamakan “life-course” memaknakan bahwa setiap masyarakat mempunyai harapan kepada setiap anggotanya untuk mempunyai perilaku tertentu sesuai dengan kategori-kategori usia yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Contohnya, sebagian besar warga Amerika Serikat akan menjadi murid sekolah ketika berusia empat atau lima tahun, menjadi peserta pemilu pada usia delapan belas tahun, bekerja pada usia tujuh belah tahun, mempunyai istri/suami pada usia dua puluh tujuh, pensiun pada usia enam puluh tahun. Di Indonesia berbeda. Usia sekolah dimulai sejak tujuh tahun, punya pasangan hidup sudah bisa usia tujuh belas tahun, pensiun usia lima puluh lima tahun. Urutan tadi dinamakan “tahapan usia” (age grading). Dalam masyarakat kontemporer kehidupan kita dibagi ke dalam masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa, dan masa tua, di mana setiap masa mempunyai bermacam-macam pembagian lagi.
b. Teori Pernyataan Harapan (Expectation-States Theory)
Teori ini diperkenalkan oleh Joseph Berger dan rekan-rekannya di Universitas Stanford pada tahun 1972. Jika pada teori peran lebih mengkaji pada skala makro, yaitu peran yang ditetapkan oleh masyarakat, maka pada teori ini berfokus pada kelompok kerja yang lebih kecil lagi. Menurut teori ini, anggota-anggota kelompok membentuk harapan-harapan atas dirinya sendiri dan diri anggota lain, sesuai dengan tugas-tugas yang relevan dengan kemampuan mereka, dan harapan-harapan tersebut mempengaruhi gaya interaksi di antara anggota-anggota kelompok tadi. Sudah tentu atribut yang paling berpengaruh terhadap munculnya kinerja yang diharapkan adalah yang berkaitan dengan ketrampilan kerjanya. Anggota-anggota kelompok dituntut memiliki motivasi dan ketrampilan yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok yang diharapkan bisa ditampilkan sebaik mungkin.
Bagaimanapun juga, kita sering kekurangan informasi tentang kemampuan yang berkaitan dengan tugas yang relevan, dan bahkan ketika kita memiliki informasi, yang muncul adalah bahwa kita juga harus mendasarkan harapan kita pada atribut pribadi dan kelompok seperti : jenis kelamin, ras, dan usia. Dalam beberapa masyarakat tertentu, beberapa atribut pribadi dinilai lebih penting daripada atribut lainnya. Untuk menjadi pemimpin, jenis kelamin kadang lebih diprioritaskan ketimbang kemampuan. Di Indonesia, untuk menjadi presiden, ras merupakan syarat pertama yang harus dipenuhi. Berger menyebut gejala tersebut sebagai “difusi karakteristik status”; karakteristik status mempengaruhi harapan kelompok kerja. Status laki-laki lebih tinggi dibanding perempuan dalam soal menjadi pemimpin, warganegara pribumi asli lebih diberi tempat menduduki jabatan presiden. Difusi karakteristik status tersebut ( jenis kelamin, ras, usia, dan lainnya) dengan demikian, mempunyai pengaruh yang kuat terhadap interaksi sosial.
c. Posmodernisme (Postmodernism)
Baik teori peran maupun teori pernyataan-harapan, keduanya menjelaskan perilaku sosial dalam kaitannya dengan harapan peran dalam masyarakat kontemporer. Beberapa psikolog lainnya justru melangkah lebih jauh lagi. Pada dasarnya teori posmodernisme atau dikenal dengan singkatan “POSMO” merupakan reaksi keras terhadap dunia modern. Teori Posmodernisme, contohnya, menyatakan bahwa dalam masyarakat modern, secara gradual seseorang akan kehilangan individualitas-nya – kemandiriannya, konsep diri, atau jati diri. (Denzin, 1986; Murphy, 1989; Dowd, 1991; Gergen, 1991) . Dalam pandangan teori ini upaya kita untuk memenuhi peran yang dirancangkan untuk kita oleh masyarakat, menyebabkan individualitas kita digantikan oleh kumpulan citra diri yang kita pakai sementara dan kemudian kita campakkan..
Berdasarkan pandangan posmodernisme, erosi gradual individualitas muncul bersamaan dengan terbitnya kapitalisme dan rasionalitas. Faktor-faktor ini mereduksi pentingnya hubungan pribadi dan menekankan aspek nonpersonal. Kapitalisme atau modernisme, menurut teori ini, menyebabkan manusia dipandang sebagai barang yang bisa diperdagangkan – nilainya (harganya) ditentukan oleh seberapa besar yang bisa dihasilkannya.
Setelah Perang Dunia II, manusia makin dipandang sebagai konsumen dan juga sebagai produsen. Industri periklanan dan masmedia menciptakan citra komersial yang mampu mengurangi keanekaragaman individualitas. Kepribadian menjadi gaya hidup. Manusia lalu dinilai bukan oleh kepribadiannya tetapi oleh seberapa besar kemampuannya mencontoh gaya hidup. Apa yang kita pertimbangkan sebagai “ pilihan kita sendiri” dalam hal musik, makanan, dan lain-lainnya, sesungguhnya merupakan seperangkat kegemaran yang diperoleh dari kebudayaan yang cocok dengan tempat kita dalam struktur ekonomi masyarakat kita. Misalnya, kesukaan remaja Indonesia terhadap musik “rap” tidak lain adalah disebabkan karena setiap saat telinga mereka dijejali oleh musik tersebut melalui radio, televisi, film, CD, dan lain sebagainya. Gemar musik “rap” menjadi gaya hidup remaja. Lalu kalau mereka tidak menyukai musik “rap”, dia bukan remaja. Perilaku seseorang ditentukan oleh gaya hidup orang-orang lain yang ada di sekelilingnya , bukan oleh dirinya sendiri. Kepribadiannya hilang individualitasnya lenyap. Itulah manusia modern, demikian menurut pandangan penganut “posmo”.
Intinya, teori peran, pernyataan-harapan, dan posmodernisme memberikan ilustrasi perspektif struktural dalam hal bagaimana harapan-harapan masyarakat mempengaruhi perilaku sosial individu. Sesuai dengan perspektif ini, struktur sosial – pola interaksi yang sedang terjadi dalam masyarakat – sebagian besarnya pembentuk dan sekaligus juga penghambat perilaku individual. Dalam pandangan ini, individu mempunyai peran yang pasif dalam menentukan perilakunya. Individu bertindak karena ada kekuatan struktur sosial yang menekannya.
4. Perspektif Interaksionis (Interactionist Perspective)
Seorang sosiolog yang bernama George Herbert Mead (1934) yang mengajar psiokologi sosial pada departemen filsafat Universitas Chicago, mengembangkan teori ini. Mead percaya bahwa keanggotaan kita dalam suatu kelompok sosial menghasilkan perilaku bersama yang kita kenal dengan nama budaya. Dalam waktu yang bersamaan, dia juga mengakui bahwa individu-individu yang memegang posisi berbeda dalam suatu kelompok, mempunyai peran yang berbeda pula, sehingga memunculkan perilaku yang juga berbeda. Misalnya, perilaku pemimpin berbeda dengan pengikutnya. Dalam kasus ini, Mead tampak juga seorang strukturis. Namun dia juga menentang pandangan bahwa perilaku kita melulu dipengaruhi oleh lingkungan sosial atau struktur sosial. Sebaliknya Mead percaya bahwa kita sebagai bagian dari lingkungan sosial tersebut juga telah membantu menciptakan lingkungan tersebut. Lebih jauh lagi, dia memberi catatan bahwa walau kita sadar akan adanya sikap bersama dalam suatu kelompok/masyarakat, namun hal tersebut tidaklah berarti bahwa kita senantiasa berkompromi dengannya.
Mead juga tidak setuju pada pandangan yang mengatakan bahwa untuk bisa memahami perilaku sosial, maka yang harus dikaji adalah hanya aspek eksternal (perilaku yang teramati) saja. Dia menyarankan agar aspek internal (mental) sama pentingnya dengan aspek eksternal untuk dipelajari. Karena dia tertarik pada aspek internal dan eksternal atas dua atau lebih individu yang berinteraksi, maka dia menyebut aliran perilakunya dengan nama “social behaviorism”. Dalam perspektif interaksionis ada beberapa teori yang layak untuk dibahas yaitu Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory), dan Teori Identitas (Identity Theory).
a. Teori Interaksi Simbolis (Symbolic Interaction Theory)
Walau Mead menyarankan agar aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, di mana hubungan di antara gerak-isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, mempengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Dalam terminologi Mead, gerak-isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang terlibat dalam interaksi adalah merupakan “satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting” ( a significant symbol”). Kata-kata dan suara-lainnya, gerakan-gerakan fisik, bahasa tubuh (body langguage), baju, status, kesemuanya merupakan simbol yang bermakna.
Mead tertarik mengkaji interaksi sosial, di mana dua atau lebih individu berpotensi mengeluarkan simbol yang bermakna. Perilaku seseorang dipengaruhi oleh simbol yang dikeluarkan orang lain, demikian pula perilaku orang lain tersebut. Melalui pemberian isyarat berupa simbol, kita mengutarakan perasaan, pikiran, maksud, dan sebaliknya dengan cara membaca simbol yang ditampilkan orang lain, kita menangkap pikiran, perasaan orang lain tersebut. Teori ini mirip dengan teori pertukaran sosial.
Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apa pun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna di antara mereka. Namun tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan – simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tersebut harus secara terus menerus mencocokan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.
Banyak kualitas perilaku manusia yang belum pasti dan senantiasa berkembang : orang-orang membuat peta, menguji, merencanakan, menunda, dan memperbaiki tindakan-tindakan mereka, dalam upaya menanggapi tindakan-tindakan pihak lain. Sesuai dengan pandangan ini, individu-individu menegosiasikan perilakunya agar cocok dengan perilaku orang lain.
b. Teori Identitas (Identity Theory)
Teori Indentitas dikemukakan oleh Sheldon Stryker (1980). Teori ini memusatkan perhatiannya pada hubungan saling mempengaruhi di antara individu dengan struktur sosial yang lebih besar lagi (masyarakat). Individu dan masyarakat dipandang sebagai dua sisi dari satu mata uang. Seseorang dibentuk oleh interaksi, namun struktur sosial membentuk interaksi. Dalam hal ini Stryker tampaknya setuju dengan perspektif struktural, khususnya teori peran. Namun dia juga memberi sedikit kritik terhadap teori peran yang menurutnya terlampau tidak peka terhadap kreativitas individu.
Teori Stryker mengkombinasikan konsep peran (dari teori peran) dan konsep diri/self (dari teori interaksi simbolis). Bagi setiap peran yang kita tampilkan dalam berinteraksi dengan orang lain, kita mempunyai definisi tentang diri kita sendiri yang berbeda dengan diri orang lain, yang oleh Stryker dinamakan “identitas”. Jika kita memiliki banyak peran, maka kita memiliki banyak identitas. Perilaku kita dalam suatu bentuk interaksi, dipengaruhi oleh harapan peran dan identitas diri kita, begitu juga perilaku pihak yang berinteraksi dengan kita.
Intinya, teori interaksi simbolis dan identitas mendudukan individu sebagai pihak yang aktif dalam menetapkan perilakunya dan membangun harapan-harapan sosial. Perspektif iteraksionis tidak menyangkal adanya pengaruh struktur sosial, namun jika hanya struktur sosial saja yang dilihat untuk menjelaskan perilaku sosial, maka hal tersebut kurang memadai.
RANGKUMAN
Telah kita bahas empat perspektif dalam psikologi sosial. Yang dimaksud dengan perspektif adalah asumsi-asumsi dasar yang paling banyak sumbangannya kepada pendekatan psikologi sosial. Perspektif perilaku menyatakan bahwa perilaku sosial kita paling baik dijelaskan melalui perilaku yang secara langsung dapat diamati dan lingkungan yang menyebabkan perilaku kita berubah. Perspektif kognitif menjelaskan perilaku sosial kita dengan cara memusatkan pada bagaimana kita menyusun mental (pikiran, perasaan) dan memproses informasi yang datangnya dari lingkungan . Kedua perspektif tersebut banyak dikemukakan oleh para psikolog sosial yang berlatar belakang psikologi.
Di samping kedua perspektif di atas, ada dua perspektif lain yang sebagian besarnya diutarakan oleh para psikolog sosial yang berlatas belakang sosiologi. Perspektif struktural memusatkan perhatian pada proses sosialisasi, yaitu proses di mana perilaku kita dibentuk oleh peran yang beraneka ragam dan selalu berubah, yang dirancang oleh masyarakat kita. Perspektif interaksionis memusatkan perhatiannya pada proses interaksi yang mempengaruhi perilaku sosial kita. Perbedaan utama di antara kedua perspektif terakhir tadi adalah pada pihak mana yang berpengaruh paling besar terhadap pembentukan perilaku. Kaum strukturalis cenderung meletakan struktur sosial (makro) sebagai determinan perilaku sosial individu, sedangkan kaum interaksionis lebih memandang individu (mikro) merupakan agen yang aktif dalam membentuk perilakunya sendiri.
Karena banyaknya teori yang dikemukakan untuk menjelaskan perilaku sosial maka seringkali muncul pertanyaan : “Teori mana yang paling benar ?” atau “teori mana yang terbaik?” . Hampir seluruh psikolog sosial akan menjawab bahwa tidak ada teori yang salah atau yang paling baik, atau paling jelek. Setiap teori mempunyai keterbatasan dalam aplikasinya. Misalnya dalam mempelajari agresi (salah satu bentuk perilaku sosial), para behavioris bisa memusatkan pada pengalaman belajar yang mendorong terjadinya perilaku agresif – pada bagaimana orang tua, guru, dan pihak-pihak lain yang memberi perlakuan positif pada perilaku agresif. Bagi yang tertarik pada perspektif kognitif maka obyek kajiannya adalah pada bagaimana seseorang mempersepsi, interpretasi, dan berpikir tentang perilaku agresif. Seorang psikolog sosial yang ingin menggunakan teori medan akan mengkaji perilaku agresif dengan cara melihat hubungan antara karakteristik individu dengan situasi di mana perilaku agresif tersebut ditampilkan. Para teoritisi pertukaran sosial bisa memusatkan pada adanya imbalan sosial terhadap individu yang menampilkan perilaku agresif. Jika memakai kacamata teori peran, perilaku agresif atau tidak agresif ditampilkan oleh seseorang karena harapan-harapan sosial yang melekat pada posisi sosialnya harus dipenuhi.
Demikianlah, setiap teori bisa digunakan untuk menjadi pendekatan yang efektif tidak untuk semua aspek perilaku. Teori peran lebih efektif untuk menjelaskan perilaku X dibanding dengan teori yang berperspektif kognitif, misalnya.
Buku Acuan :
Theories of Social Psychology – Marvin E. Shaw / Philip R. Costanzo, Second Edition, 1985, McGraw-Hill, Inc.
Thinking Sociologically, Sheldon Goldenberg, 1987, Wadsworth, Inc.
Social Psychology, James A. Wiggins, Beverly B. Wiggins, James Vander Zanden, Fifth Edition, 1994, McGraw-Hill, Inc.
Sociology, Concepts and Uses , Jonathan H. Tuner, 1994. McGraw-Hill Inc.
Social Psychology, Kay Deaux, Lawrence S. Wrightsman, Fifth Edition, 1988, Wadsworth, Inc.
Diposting oleh psikologi pendidikan di 21.44 1 komentar